Sebutan Etan Kali dan Kulon Kali, Apakah Ada Pengaruh Politik di Kabupaten Ponorogo?

Ponorogo ~ Mitos tentang bupati Ponorogo yang tidak bisa menjabat lebih dari dua periode mungkin berakar dari tradisi atau kepercayaan lokal. Penyebutan “etan kali” dan “kulon kali” juga bisa merujuk pada wilayah atau simbol tertentu yang dianggap memiliki pengaruh dalam konteks pemilihan.

Dalam banyak budaya, ada mitos dan kepercayaan yang berkembang seiring waktu, sering kali berkaitan dengan sejarah, budaya lokal, atau peristiwa tertentu. Mitos ini bisa memengaruhi opini masyarakat dan bahkan perilaku pemilih.

Pola pergantian bupati Ponorogo antara warga “etan kali” dan “kulon kali” memang mencerminkan dinamika sosial dan politik di daerah tersebut. Misalnya, Muhadi yang berasal dari Kelurahan Mangkujayan mewakili sisi etan kali dalam Pilkada 2005.Fenomena ini menunjukkan adanya peran tradisi dan kepercayaan lokal dalam pemilihan pemimpin. Masyarakat mungkin merasa lebih terhubung dengan calon dari wilayah tertentu, yang bisa memengaruhi pilihan mereka.

Polarisasi antara warga “etan kali” dan “kulon kali” dalam pemilihan bupati Ponorogo jelas terlihat dari urutan pemimpin sejak 2005. Setelah Amin dari kulon kali terpilih pada 2010, bupati kembali berpindah ke etan kali dengan Ipong Muchlissoni pada 2015, dan Sugiri Sancoko kembali dari kulon kali pada 2020.Pola ini menunjukkan tidak hanya kecenderungan pemilih untuk memilih pemimpin dari wilayah tertentu, tetapi juga kemungkinan adanya kesepakatan atau kesadaran kolektif di masyarakat mengenai rotasi kepemimpinan. Hal ini dapat memengaruhi dinamika politik menjelang Pilkada 2024.

Lantas sebenarnya bagaimana asal muasal penyebutan dari etan kali dan kulon kali? Pemerhati sejarah Ponorogo, Murdianto mengatakan penyebutan etan kali dan kulon kali erat kaitannya dengan sejarah penyatuan kadipaten-kadipaten di Ponorogo. “Penyebutan kali disini mengacu pada sungai Sekayu yang memang membelah kabupaten Ponorogo. Penyebutan kulon kali mengacu pada wilayah kekuasaan Kadipaten Sumoroto, sedang etan kali mengacu pada wilayah Kabupaten Ponorogo.”tegasnya

Sejarah pemindahan pusat Kabupaten Ponorogo ke kawasan alun yang sekarang memang mencerminkan pengaruh keputusan politik dan administrasi pada masa itu. Penggabungan Kadipaten Sumoroto dengan wilayah di timur kali menunjukkan upaya untuk menciptakan pusat yang lebih strategis dan terintegrasi.Simbolisasi grebeg suro sebagai perayaan juga menunjukkan pentingnya momen tersebut dalam konteks sejarah lokal. Pindahnya pusat kota biasanya dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pemerintahan dan memperkuat posisi sosial-ekonomi wilayah.

“Itu menunjukkan terjadi negosiasi ada kebijakan politik yg sangat ditentukan oleh fakta historis negosiasi kawasan.”terang Murdianto

Penyatuan dua wilayah kekuasaan inilah yang akhirnya menjadi sebab terbentuknya idiom etan kali dan kulon kali.

“Awal terbentuknya etan kali sama kulon kali berasal dari penyatuan entitas administratif (antara Kabupaten Ponorogo dengan Kadipaten Sumoroto,”imbuhnya

Penyebutan “etan kali” dan “kulon kali” yang juga ditemukan di daerah lain seperti Kediri menyoroti pentingnya geografi, terutama sungai, dalam membentuk interaksi sosial dan identitas masyarakat. Sungai sering kali menjadi batas fisik yang memisahkan komunitas, sehingga menciptakan dua sisi yang berbeda dalam hal budaya dan kepemimpinan.Fenomena ini menunjukkan bagaimana sejarah dan geografi saling terkait dalam membentuk struktur sosial. Di Kediri, misalnya, hal ini menciptakan dinamika politik dan sosial yang mirip dengan yang terjadi di Ponorogo.

Pewarta : zainuri

Penulis: Zainuri Editor: Eko

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *