Kerusakan Demokrasi Akibat Runtuhnya Rasa Percaya Rakyat Terhadap Aturan Kontestasi

Demokrasi

Penulis : Andi Salim

GEMADIKA — Jika kita tidak percaya dengan seseorang walau terkadang belum tentu hal itu diakibatkan oleh orang tersebut yang bisa saja dianggap telah melanggar komitmen dari apa yang semestinya menjadi kesepakatan bersama. Meskipun kata sepakat itu tidak akan pernah cukup untuk dituangkan dalam berbagai point-point kesepakatan terhadap apa yang akan menjadi pijakan bersama dari berbagai lembaran perjanjian yang telah ditandatangani. Sebab setiap perjanjian acap kali tidak memuat tentang standard moral yang sama terhadap bagaimana para pihak dapat berpegangan kepada komitmen bersama, termasuk melandasi niat baik pada setiap pemenuhan pasal demi pasal yang terdapat didalam perjanjian itu, guna saling memudahkan dan saling percaya antara satu dengan lainnya, sehingga para pihak akan berkomitmen penuh untuk menyelesaikan tujuan dari perjanjian tersebut pada akhirnya.

Berawal dari pemberlakuan sistem terbuka sebagai cara agar mendorong partisipasi masyarakat sebagai pihak yang tidak sekedar memilih namun ikut pula sebagai pihak yang dipilih. Oleh karenanya, strategi ini pun memunculkan dampak agar setiap partai memiliki calon legislatifnya guna memperoleh suara terbanyak disetiap dapil pemilihan, termasuk menciptakan persaingan antar kontestan caleg di lingkaran internal parpolnya sendiri. Apalagi disetiap dapil, terdapat calon yang jumlahnya bahkan mencapai 10 caleg. Bahkan perolehan nomor urut menjadi penting sebab didalamnya terdapat pengaruh psikologi pemilih yang secara khusus dapat mempengaruhi calon pemilih dari nomor urut yang biasa atau mudah untuk di ingat masyarakat. Sebab semakin mudah di ingat, maka semakin besar kemungkinan menangnya. Demikianlah rumor yang berkembang dikalangan akar rumput yang penulis temukan.

Jika ada istilah mata duitan yang merupakan sebutan atau predikat dari seseorang yang acap kali serakah dan tamak akan uang, atau pada sisi lain kita sering pula mendengar istilah mata keranjang yang ditujukan bagi seorang pria yang sifatnya gemar merayu setiap perempuan yang menarik perhatiannya untuk di dekati lantas dipacarinya, maka para caleg dan politikus ini pun seakan berlaku sama dengan cara yang tak jauh berbeda pula. Sebab, kalau seorang mata duitan merayu siapa saja demi uang, atau sang mata keranjang merayu siapa yang menarik perhatiannya, tentu saja cara ini digunakan oleh para caleg tersebut dalam merayu calon konstituen agar memilihnya guna meraup banyak suara. Peristiwa ini pun semakin menyerupai ungkapan lagu yang dilantunkan oleh Rinto Harahap pada lagunya yang berjudul “Dingin”, dimana didalam lirik lagu itu menyebutkan ” tapi janji – tinggal janji, bulan madu hanya mimpi”.

Tak dapat dipungkiri jika demokrasi bangsa ini semakin carut marut. Sebab pada kenyataannya demokrasi menjadi kompetisi bebas dimana para pelakunya dapat mengikuti ajang pertarungan tanpa skill khusus yang disesuaikan pada sisi kebutuhan pengendalian negara guna mengisi berbagai variasi jabatan melalui bidang-bidang yang di perebutkannya. Termasuk bagaimana mengawasi, mengkoreksi, mengkritisi jalannya sektor pemerintahan baik selaku koalisi pendukung pemerintah mau pun sebagai oposisi yang berseberangan sebagai lawan politiknya. Hal yang sama pun terjadi manakala masyarakat tidak dibekali edukasi yang terang benderang terhadap aturan dan ketentuan guna memiliki kemampuan untuk memilih siapa yang sebenarnya pantas dipilih bagi kemajuan bangsa dan negara ini. Praktis demokrasi yang digulirkan tak lain hanya sekedar mencoblos partai atau tanda gambar dari upaya money politics seseorang yang sering diumbar ditengah masyarakat pada akhirnya.

Diketahui oleh publik bahwa timbulnya animo politik semestinya sama dengan kompetisi sepak bola atau cabang olahraga lain yang digandrungi masyarakat luas bahkan di tingkat dunia sekalipun. Dimana para pemainnya tentu dengan skill yang profesional hingga dibandrol dengan bayaran yang fantastis, demikian pula para penontonnya yang rela membeli tiket dengan harga selangit sekalipun.
Sehingga masyarakat yang menonton sebuah pertandingan dapat melihat permainan yang berkualitas dan sportif dibalik kemenangan sebuah tim kesebelasan sepak bola yang disaksikannya dari setiap ajang kompetisi yang disajikan FIFA selaku pihak penyelenggara atau kompetisi lokal seperti PSSI yang tak jarang mendapat kritik akibat pahamnya publik terhadap aturan yang fear play dari suatu pertandingan. Tentu saja yang menjadi pemainnya adalah mereka yang benar-benar memiliki kemampuan selaku pemain sepak bola sehingga yang tidak punya skill di bidang ini tidak dapat ikut didalamnya.

Ungkapan diatas sungguh berbeda dengan dunia politik saat ini, sebab faktanya, siapa saja yang punya uang atau memiliki popularitas tinggi bisa langsung terjun menjadi pemain walau tanpa skill di bidangnya sekalipun. Meskipun pada gilirannya banyak dari kalangan politik ini yang mampu menyesuaikan keadaan terhadap fungsi dan tugasnya, dibalik panjangnya rentan waktu guna beradaptasi pada jabatan yang diembannya. Inilah bukti bahwa setiap partai politik tidak benar-benar mempersiapkan para kadernya agar dapat langsung berfungsi on the track dibalik dosa penyelenggara pemilu yang sama sekali tidak menanamkan kepedulian terhadap masyarakat tentang penyuluhan dan edukasi yang dibutuhkan guna menghindari praktek money polytic di tanah air. Dimana masyarakat semestinya menjadi mampu berkomentar banyak atas berbagai jalannya praktek pemilihan serta memahami kontestasi itu demi mendapatkan wakil rakyat yang baik dan pejabat daerah yang mumpuni.

Rendahnya kualitas demokrasi saat ini tentu berdampak pada legitimasi sebuah pemilihan. Siapa saja yang memenangkannya dapat saja diragukan kualitasnya. Namun diamnya sebagian masyarakat tidak berarti mereka bodoh dan selamanya bisa dibiarkan. Apalagi didapati bahwa banyak dari oknum KPU yang melakukan cawe-cawe politik dibalik kemenangan sebuah partai atau calon tertentu. Sebut saja atas apa yang terjadi pada 2004 silam. Dimana pada tahun 2001 Anas Urbaningrum dipercaya sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum yang dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid untuk mempersiapkan pemilu 2004, namun pasca pemilu, dirinya bergabung ke partai Demokrat setelah kemenangan pasangan SBY-JK pada pilpres 2004 tersebut. Termasuk dugaan cawe-cawe anggota KPU lain yang terjadi pada tahun 2011, dimana Andi Nurpati diduga terlibat dalam pemalsuan dokumen MK yang terkait pemilu legislatif tahun 2009 lalu, dan pada gilirannya beliau pun ikut bergabung menjadi salah satu ketua didalam partai Demokrat pada akhirnya.

Era reformasi telah dilewati dengan rentang waktu begitu panjang. Setelah 25 tahun sejak 1998 reformasi yang konstruktif belum menampakkan hasil apapun terhadap kualitas demokrasi tanah air. Walau kebebasan berpendapat begitu tegak, namun nyatanya justru menciptakan polemik yang berkepanjangan terhadap aturan konsitusi negara dan penegakkan hukum terhadap UUD45. Jika era orde baru tidak ada yang banyak bicara oleh karena rezim otoriter yang siap membungkam siapapun sekiranya berani menentang mereka, maka di era reformasi malah sebaliknya terjadi. Dimana publik menjadi kebingungan oleh berbagai pendapat serta pandangannya yang tak jarang membuat gaduh negeri ini sehingga sulit sekali menetapkan pandangan serta pendapat mana yang semestinya menjadi pegangan dari penafsiran Aturan Konstitusi dan UUD45 yang mereka sampaikan. Bahkan hal itu semakin berkecamuk manakala suara rakyat tertindih oleh tayangan pejabat korupsi yang semakin merebak di setiap stasiun televisi dan media online yang sarat dengan pemberitaan mengejutkan.)***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *