MUNGKINKAH NEGARA BERDAULAT TANPA SUPREMASI RAKYATNYA

Vox populi

Penulis : Andi Salim

Suluh Nusantara News — Apa jadinya ketika suatu Negera membiarkan kebohongan yang terus menerus dipancarkan melalui kewenangan kekuasaan. Dimana ekonomi yang mereka sebut sebagai indikator yang mengalami peningkatan, justru memperlihatkan fakta jika segala kebutuhan hidup rakyatnya tersedia serba mahal atas kemampuan daya beli masyarakatnya yang terdapat dibawah garis kemiskinan. Ditambah lagi gejolak sosial yang disebutkan kondusif pun justru menampakkan hal sebaliknya, dibalik adanya ketegangan sosial terhadap suasana batin rakyatnya yang saling tak acuh pada keadaan lingkungan disekitarnya, hingga terkesan masyarakatnya yang tumbuh tanpa pengendalian kekuasaan. Belum lagi faktor politik yang sengaja dipermainkan melalui birokrasi kekuasaan yang seolah-olah menerapkan demokrasi ideal tanpa cela, namun begitu terasa ditunggangi oleh segelintir orang yang nyaris membuat siapa pun tak berdaya untuk menolak segala hal yang ditetapkan, sekalipun hal itu dirasakan tidak sesuai dengan kehendak hati nurani rakyatnya.

Tatanan demokrasi adalah proses perkawinan antara rakyat dengan rezim penguasa negaranya. Hal ini terjadi demi mengisi kedaulatan kemerdekaan yang telah didapat dari perjuangan para pendahulu mereka yang sebelumnya berdarah-darah atas pengorbanan jiwa dan raganya yang disumbangsihkan pada tujuan itu. Demi tujuan tersebut, maka aturan demokrasi disepakati semua komponen bangsa ini untuk menerapkan sistem pemilu yang terbuka sebagai ajang kontribusi politik rakyat guna menemukan pemimpin ideal yang sportif dan kredibel yang tentu saja untuk mengurusi keanekaragaman kehendak rakyatnya. Melalui proses pemilu yang dijalankan secara fear play, serta berpijak pada azas Luber dan Jurdil untuk seterusnya dijunjung tinggi dan menjadi komitmen guna melandasi pijakan tersebut agar berdiri diatas haluan kepentingan berbangsa dan bernegara ini. Sehingga kekuasaan negara tidak bisa diartikan sebagai lahan yang tak bertuan untuk bisa diklaim oleh oknum atau kelompok yang ingin menguasainya secara sepihak.

Jika para pegiat politik itu seakan-akan terorkestrasi oleh batasan ketentuan dan hukum dari apa yang boleh dikerjakan dan kondisi apa yang tidak boleh dilanggar, sehingga mereka menari-nari diatas celah UU dan aturan konstitusi untuk melanggengkan syahwat politiknya guna melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan oleh yang lain, sepanjang tidak melanggar ketentuan dalam kitab-kitab keramat seperti KUHAP dan KUHP dalam bernegara, termasuk sederet aturan demokrasi yang disyaratkan dalam sistem pemilu, maka hal itu dianggap sah-sah saja. Meski sebenarnya aturan dan ketentuan itu bertumpu pada moralitas pesertanya yang bersedia untuk mematuhi dan menegakkan berbagai hal agar menampilkan sisi kredibilitas dan kualitas atas out put dari sistem demokrasi yang fear play dan seterusnya. Namun, masyarakat semestinya memahami bahwa kecurangan dan ketidakpatuhan pada berbagai aturan dan ketentuan itu sesungguhnya tidak dapat dibenarkan walau pun semua pesertanya melakukan hal yang sama.

Ketahuilah bahwa berbagai hal yang dimuat dalam ketentuan dan perundang-undangan tidak akan cukup untuk membatasi seseorang guna menghentikan kejahatannya, apalagi mengatur tentang moralitas dari apa yang boleh dan tidak serta menilai elok atau tidaknya seseorang, termasuk mengenai pantas dan kurang pantasnya sesuatu hal itu dipijak sebagai sikap dalam merespon aturan apa saja yang dianggap mengikat dalam berbagai hal yang disepakati. Sebab syarat utama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang dinilai tercela adalah adanya ketentuan dalam undang-undangan yang mengatur serta merumuskan perbuatan tercela itu sekaligus memberikan suatu sanksi terhadapnya perbuatan tersebut. Maka, dalam hukum pidana, dikenal asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, jika hal tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang. Artinya, segala hal yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum itu sekiranya bertentangan dengan apa yang terdapat didalam UU tersebut.

Secara sederhana bisa dipahami bahwa asas ini menyatakan sekiranya tidak dipidana terhadap suatu perbuatan kalau belum ada aturan yang membatasinya. Artinya, jika kita menarik dari apa yang terjadi pada situasi pemilu sekarang ini, dimana Jokowi dianggap sebagai pihak yang merusak demokrasi melalui perbuatan cawe-cawe politiknya yang dianggap tidak netral demi membantu putranya agar ikut dalam kontestasi pilpres 2024 kemarin. Pernyataan Jokowi ketika berada di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma pada tanggal 24 Januari 2024 lalu, bahwa dirinya selaku Presiden boleh berkampanye, serta boleh pula memihak terhadap salah satu kontestan pilpres 2024 ini, harus dibaca sebagai wujud pertentangan terhadap Pasal 283 ayat (1) dan ayat (2) UU 7/2017 tentang Pemilu yang secara tegas melarang bagi siapa pun penyelenggara negara untuk berkegiatan dengan tujuan memihak pada salah satu peserta pemilu, baik sebelum, sesudah atau dimasa kampanye”, serta memberikan berupa barang kepada ASN dan seterusnya.

Larangan itu pun semestinya dipahami bahwa setiap pejabat negara harus pula melandasi pembatasan sikapnya terhadap apa yang dinyatakan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) tentang hal yang meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, atau seruan yang notabenenya mendorong seseorang guna memihak pada salah satu Paslon kontestan pemilu yang dimaksud. Meski dalam tepisan pernyataannya beliau berkilah jika apa yang dilakukannya tersebut sesuai dengan landasan hukum dan aturan perundang-undangan yang berlaku. Dimana menurut Presiden, undang-undang no 7 tahun 2017 menjelaskan bahwa presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk melaksanakan kampanye sebagaimana pasal 299 yang menerangkan jika presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. Selain itu, Presiden mengatakan bahwa dalam Pasal 281 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga diatur mengenai beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh presiden dan wakil presiden dalam melakukan kampanye.

Padahal, apa yang disebutkan dalam UU tersebut ditafsirkan masyarakat sebagai peluang yang tak lebih ditujukan kepada kedudukan seorang Presiden selaku incumbent yang diperkenankan konstitusi guna mengkampanyekan dirinya sendiri dalam pertarungan pilpres pada periode keduanya jika ikut menjadi peserta pemilu selanjutnya. Namun Nasi telah menjadi bubur, walau capres Paslon 01 dan 03 harus kalah dari capres Paslon 02 yang disinyalir hal itu disebabkan sebagai akibat cawe-cawe dukungan politik dari perilaku presiden yang sedemikian rupa dalam menyatakan sikapnya, namun tudingan atas ketidaknetralan Presiden Jokowi semakin terus dipertanyakan. Apalagi dugaan atas pemanfaatan dari tingginya pencairan Bansos hingga mencapai 497 triliun menjelang masa pencoblosan pada pilpres 2024 kali ini yang disinyalir pula turut mempengaruhi sikap pilihan masyarakat yang mengarah kepada salah satu Paslon, tentu diartikan publik sebagai sesuatu yang bersifat curang dan mendegradasi pemilu yang semestinya dijalankan secara fear play dan sportif.

Pemilu tidak boleh diartikan hanya sebatas menang dan kalah. Demokrasi dipercaya oleh banyak orang sebagai sistem politik yang paling mampu mewujudkan kedaulatan rakyat. Pemilu memiliki arti penting sebagai salah satu prosedur utama dalam demokrasi. Sebab kedaulatan rakyat hanya bisa dikelola secara optimal melalui lembaga perwakilan yang didapat dari proses pemilihan umum atas murninya suara rakyat itu dalam memilih siapa yang menjadi para wakilnya. Melalui Pemilihan Umum inilah untuk selanjutnya terjadi proses pembentukan pemerintahan guna melanjutkan pembangunan sekaligus tetap mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemilu menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang. Sehingga pemilihan yang bersifat umum memastikan bahwa tidak ada diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Itulah maknanya pemilu yang bisa ditangkap secara sederhana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *