Penulis : Andi Salim
Suluh Nusantara News — Pasca duduk sebagai Presiden, siapa lagi yang tidak mengenal Jokowi meski rakyat yang tinggal di pelosok pedalaman Sumatera, Kalimantan atau Papua sekalipun. Dirinya bahkan dikenal hingga seantero dunia dengan rating pemimpin terpopuler diantara kepala-kepala negara lain termasuk negara peserta G-20 yang pernah di pimpinnya. Walau beliau datang bukan dari kalangan tokoh politik atau tokoh masyarakat, serta hanya bermodalkan latar belakang seorang pengusaha mebel atau sering disebut netizen sebagai Tukang Kayu, namun dirinya berhasil menerobos karirnya dengan tingkat prestasi yang gemilang untuk menduduki puncak karir di negeri yang berpenduduk 277 juta ini. Berawal kepopulerannya di Surakarta, hingga direkomendasikan sebagai Gubernur DKI pada 2012 silam, hingga ikut dalam kontestasi pilpres 2014 lalu. Namun berkat tangan dingin Megawati yang disertai dukungan media yang menyuarakannya secara masif hingga poling survey tertinggi pun dicapainya. Tak heran jika rakyat menjadi larut dalam mendukung sosok yang hingga kini masih kerempeng ini dalam menduduki jabatan Presiden 2014 ~ 2019 sebagai masa periode pertama kedudukannya.
Memang harus diakui bahwa dukungan media memang begitu kuat bahkan sedikit memaksa hingga Megawati mengurungkan niatnya untuk ikut berkontraksi sebagai Capres ketika itu. Walau kesempatan bagi dirinya sangat terbuka lebar oleh karena dirinyalah satu-satunya pemilik rekomendasi partai yang dibesarkannya tersebut. Sebab rekomendasi Presiden hanya ada satu dan satu-satunya, tidak seperti rekomendasi bagi Calon Gubernur atau Calon Walikota dan Bupati yang jumlahnya demikian banyak untuk bisa dibagi-bagikan kepada kader partai atau pun tokoh masyarakat yang pantas memimpin suatu daerah. Akibatnya, sekalipun harus menguburkan mimpi para konstituen PDIP yang berharap agar dirinya maju, sikapnya yang lebih mementingkan bangsa dan negara itu menjadi momentum bagi hadirnya ormas dan relawan yang berkedudukan sebagai sayap partai serta para tokoh PDIP yang tergabung kedalam komunitas gerakan itu pun ikut menambah kekuatan atas kemenangan pilpres 9 tahun silam tersebut. Walau diakui bahwa partai-partai yang ikut berkoalisi tentu memiliki andil yang turut pula didalamnya.
Sisa kepemimpinan SBY yang ternyata menyisakan Utang Luar Negeri hingga ribuan Trilyun tentu menyebabkan situasi keuangan negara menjadi tidak mudah, selain beban bunga dan pokok pinjaman yang harus dibayarkan oleh pemerintah dimasa Jokowi, proyek yang mangkrak pun terbilang banyak pula jumlahnya. Dibalik berbagai kasus-kasus korupsi yang berasal dari partai Demokrat sendiri, SBY pun terkesan mengejar loyalitas para koalisinya melalui lemahnya sistem pengawasan keuangan negara yang terlihat dari banyaknya kasus partai lain yang ikut melakukan hal yang sama. Sehingga kerugian negara semakin tak terelakkan dibalik besarnya anggaran subsidi yang dihabiskan terbakar. Hingga hal itu diduga bertujuan sebagai upaya memanjakan rakyat demi langgengnya kekuasaan dirinya selama 2 periode sejak tahun 2004 hingga 2009 silam. Namun demikian, gigihnya kepemimpinan Jokowi menjadikan kesulitan itu teratasi. Bahkan tantangan pada periode kedua dalam menghadapi wabah Covid-19 yang mendunia bisa beliau selesaikan dengan pujian dari seluruh masyarakat Indonesia dan dunia.
Gebrakan nasionalisasi perusahaan asing yang mengandung arti pengambil-alihan hak kepemilikan atas penanaman modal diberbagai perusahaan yang berakibat naiknya saham mayoritas dari penyertaan modal negara terhadap perusahaan negara lain yang selama ini menanamkan modalnya di Indonesia, hingga menyebabkan saham pemerintah bercokol dikisaran rata-rata 51% menjadi bukti keseriusan beliau dalam melepaskan cengkraman atas pengolahan tambang yang sejak lama didominasi oleh pihak luar dari kesepakatan kerjasama oleh Soeharto dimasa era orde barunya. Faktor terjadinya krisis energi dan ekonomi akibat perang antara Rusia dan Ukraina pun berhasil dimanfaatkan oleh Jokowi untuk melakukan reposisi atas eksport row material terhadap berbagai tambang yang digagasnya menuju end Product, walau didahului dengan proses Hilirisasi yang mengakibatkan kemarahan sekaligus keresahan bagi negara Uni Eropa. Dampaknya, indonesia pun beberapa kali digugat di WTO, namun hal itu tidak menyurutkan langkahnya untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat demi memakmurkan Indonesia melalui kesempatan yang saat ini dirasakan sangat terbuka.
Animo publik yang meningkat dari rating tingkat kepuasan masyarakat yang terus menguat. Walau sebenarnya pencapaian bidang lain masih terseok-seok, sebut saja pada bidang pertanian dan hasil laut yang belum secara optimal tertangani dengan baik, namun pembangunan infrastrukturnya yang masif mampu menutupi kelemahannya disektor tersebut sekalipun harga pangan terasa naik secara signifikan. Didasari kepuasan masyarakat tersebut, Keinginan untuk mendapatkan kekuasaan menjadi 3 periode meskipun dibatasi oleh aturan konstitusi, diolahnya melalui gagasan pembentukan Koalisi Besar yang sengaja diinisiasi olehnya. Akan tetapi sikap tegak lurus PDIP terhadap aturan pembatasan konstitusi yang mengharuskan dirinya hanya sampai dua periode saja, tentu mengakibatkan rasa kecewanya pula. Hingga mendekati masa akhir kekuasaannya, Para loyalis Jokowi pun berbondong-bondong mengalihkan dukungannya dengan mengingkari sumber kekuatan mereka yang diketahui publik berasal dari para senior PDIP hingga melampiaskan kekecewaan jokowi tersebut kedalam perhelatan Musra Projo yang diarahkan untuk mendukung capres lain.
Sontak saja ormas Projo yang sering membawa Jargon “Setia di Garis Rakyat” ini pun terbelah hingga banyak pula yang telah mengundurkan diri, sebab begitu banyak basis masa mereka yang bersumber dari keanggotaan yang memiliki KTA partai PDIP hingga saat ini. Tidak hanya sampai disitu, bahkan hampir seluruh pengurus awal sejak didirikannya Projo pun yang diambil dari para anggota partai tersebut. Termasuk ketua umumnya yang saat ini menjabat sebagai MENKOMINFO sekalipun. Meski formulasi ramuan mujarab guna mengobati kronis kekecewaan Jokowi ditemukan melalui pengangkatan Gibran Rakabuming Raka selaku Cawapres mendampingi Prabowo Subianto dibalik Keputusan MK yang dianggap sumir atas dikabulkannya sebagian uji materi tentang batasan usia yang bisa maju sebagai capres atau cawapres meski belum berusia 40 tahun, namun memiliki pengalaman sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilu. Hingga kini pun berlanjut pada sidang MKMK yang semakin membuka mata publik. Walau dibalik itu, kekhawatiran akan surutnya coattail effect jokowi yang mengalir kearah Ganjar-Mahfud menghantui para pendukung pasangan ini pula.
Ungkapan Guntur Soekarno Putra yang menyebutkan bahwa Pemimpin nasional tidak harus dari trah Soekarno, semestinya diartikan sebagai sikap negarawan sejati dari keluarga Proklamator tersebut. Sebab hingga kini, keluarga Bung Karno nyata-nyata sepi dari berbagai jabatan pada pemerintahan Jokowi saat ini. Akan tetapi, hal itu tidak berarti pula ditujukan pada trah Jokowi yang begitu nyata terlihat menduduki berbagai jabatan dibalik support nama besar yang didapatnya melalui prestasi karir dari kebesaran hati Megawati yang telah memberikan peluang bagi diri mereka. Walau melalui proses pemilihan langsung, rakyat pun memahami jika mereka terpilih oleh karena adanya korelasi dengan kekuasaan jokowi saat ini tentunya. Apalagi urusan dinasti politik selalu menghiasi kepala daerah diberbagai wilayah yang saat ini masih terjadi hingga begitu tertutup dari tangan-tangan pihak lain, termasuk atas golongan rakyat kecil yang sama sekali jauh dari harapan dan mimpi mereka untuk memperolehnya secara fairplay. Politik dinasti memang telah lama menjadi momok bangsa ini. Walau era reformasi telah bergulir sejak 1998, namun kegiatannya masih marak diberbagai daerah pula.
Kita membutuhkan kehadiran generasi muda untuk memimpin bangsa ini kedepan, sebab bagaimana pun merekalah yang akan mewarisi apa yang ingin mereka peroleh bagi Indonesia dimasa yang akan datang. Akan tetapi, generasi muda yang dimaksud bukanlah pemuda yang keberadaannya dengan cara dikatrol melalui nilai atas bayangan kesuksesan orang lain meskipun dibalik nama besar orang tuanya sendiri. Jokowi bukanlah satu-satunya kekuatan yang saat ini sengaja mendorong Gibran Rakabuming Raka untuk maju selaku Cawapres dengan memunculkan isu bahwa cara tersebut demi menghindari perpecahan. Namun dibalik itu, syahwat politik Jokowi lebih nyata terlihat agar pemimpin nasional Indonesia nantinya dengan kualitas mentah dibalik lanjutnya usia Prabowo yang tentu saja sulit diharapkan dapat bekerja secara optimal oleh karena kondisi fisiknya yang terlalu renta. Walau sebagian alasan sengaja dibungkus oleh karena adanya campur tangan pihak asing guna masuk kedalam pusaran pilpres 2024 kali ini, namun bukan berarti Jokowi satu-satunya yang memahami geopolitik Indonesia hingga menangkalnya melalui eksistensi putranya sendiri.
Jika selama ini Jokowi sering dikritik pedas oleh kalangan oposisi yang sering menyebut dirinya planga-plongo, dungu, tolol dan lain sebagainya yang acapkali diungkapkan Ricky Gerung Cs. Atas berbagai komentarnya yang sering di counter oleh kalangan politikus PDIP yang tidak terima perlakuan terhadap kadernya dijadikan objek pelecehan semacam itu, maka kali ini para pengkritik itu semakin bertambah yang justru datang dari pihak yang selama ini membela dirinya. Akan tetapi, para loyalis pendukung jokowi yang merupakan barisan penikmat kekuasaan atas limpahan jabatan dari dirinya cenderung sering memilih diam tanpa berkomentar sedikitpun. Bagi publik, ajakan “Ojo Kesusu” dan kata “Tegak Lurus” diartikan sebagai mantra yang menghipnotis agar masyarakat lupa kepada siapa loyalitas dirinya ditujukan. Walau publik mengetahui bahwa Jokowi merupakan kader partai berlambang banteng tersebut, namun masyarakat merasa aneh ketika dirinya justru sibuk mendukung Capres lain dan membesarkan partai lawan hingga tidak peduli terhadap partai yang telah membesarkannya. Disinilah Megawati menampakkan kematangan strategi politiknya atas situasi semacam ini.)***